Susah Senang Bersama
Hari ini hari Sabtu, 5 sekawan berbincang-bincang di kantin sekolah. Mereka berencana akan jalan-jalan ke Candi Gedong Songo. Kebetulan hari ini sekolah memulangkan anak-anak lebih awal, dikarenakan ada suatu keperluan.
“Bagaimana kalau nanti sepulang sekolah kita jalan-jalan? Mumpung nanti pulangnya lebih awal.” Ajak Gea.
“Ide bagus. Mau jalan-jalan kemana?” Tanya Michelle.
“Kemana ya? Aku juga bingung.”
“Gimana kalau ke Candi Gedong Songo? Kalian setuju nggak?” Tanya Michelle meminta persetujuan dari keempat sahabatnya.
“Boleh juga itu.” Jawab Gea.
“Asyik tuh! Apalagi kesananya bareng-bareng.” Ujar Reyna.
“Kalau gitu sudah diputuskan, bahwa nanti sepulang sekolah kita jalan-jalan ke Candi Gedong Songo.” Kata Darena.
“Tapi aku nggak bawa uang banyak, ini aja rencananya mendadak.” Sahut Reyna.
“Aku juga. Lihat ini, uangku mepet.” Ucap Gea sambil mengambil uang dari sakunya.
“Halah.” Keluh Darena.
“Kalian tenang aja! Darena itu punya uang banyak.” Kata Michelle sambil memandang ke arah Darena.
“Iya, tenang aja! Empat puluh ribu.” Ucap Darena.
“Emangnya kamu mau bayarin kita semua Ren?” tanya Reyna pada Darena.
“Ya iya lah, tapi angkotnya aja ya?”
“Ya..”
“Gimana kalau kita ajak Alena? Biar tambah ramai. Lagipula Alena kan juga sahabat kita.” Saran Reyna.
“Ide bagus.” Ujar Michelle.
“Tapi kita minta ijin sama orang tua dulu kan?” Tanya Gea.
“Ya pastinya!” Jawab Reyna.
“Tapi kan angkotnya cuma sampai di pom bensin depan gapura. Terus kita dari sana menuju ke Candi Gedong Songo-nya naik apa? Kan nggak ada angkot.”
“Ya nebeng lah.” Jawab Darena.
“Hiii, nebeng? Nggak mau ah!” Tolak Ferrysa.
“Lha emangnya kenapa?”
“Berbahaya!”
“Tenang aja, nebengnya bukan truk kok, tapi mobil pick-up.”
“Oh, mobil buka’an?”
“Iya, ndeso banget sih kamu!”
“Tetap aja aku nggak mau! Aku takut.”
“Hish.. Lha terus kalau nggak nebeng gimana?”
“Jalan kaki!” Sahut Michelle.
“Haa? Jalan kaki? Gila kamu? Itu jauh banget lho Mich!” Ucap Darena.
“No problem.” Sahut Ferrysa.
“Baiklah, kita kan pecinta alam.” Darena menyetujui.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. 5 sekawan menghadang Alena.
“Alena!” Sapa 5 sekawan.
“Eh kalian, ada apa?” Tanya Alena penasaran.
“Kamu mau nggak kalau ikut kita jalan-jalan ke Candi Gedong Songo?” Tanya Reyna.
“Ya mau mau aja. Tapi aku lagi nggak ada duit nih.”
“Tenang aja, ngangkotnya dibayarin sama Darena. Tapi dari gapura ke Candi Gedong Songo-nya jalan kaki. Okay?”
“Baiklah.”
“Oh iya, nanti kita ketemuan dimana?” tanya Alena.
“Dimana ya? Aku juga bingung.”
“Apa di taman kota?” Usul Ferrysa.
“Okay.” Jawab kelima sahabatnya.
***
Di taman kota pukul 09.15 WIB tampak Reyna yang sedang kesal.
“Lama banget sih ini temen-temen!” keluh Reyna.
Reyna duduk di bangku taman. Karena kesal, ia berdiri dan mondar-mandir kesana-kemari, kemudian duduk lagi dengan wajah cemberut .
“Dor!” suara 5 temannya yang tiba-tiba berdiri di belakang bangku yang diduduki Reyna.
“Halah... mengagetkanku saja.” Kata Reyna yang semakin kesal.
“Ya maaf.” Jawab Gea.
“Oke deh, oke deh. By the way, ayo kita berangkat!”
“Let’s go!”
Lama mereka menunggu angkutan umum, tapi angkutan umum tak kunjung datang. Kalaupun ada, itu pasti mobil sewaan. Gea melambaikan tangan dengan maksud agar angkutan umum berhenti. Tapi sopir angkutan umum itu malah balik melambaikan tangan. Mereka mengartikan pasti sopir itu memberikan sinyal bahwa mobil tersebut sudah disewa dan tidak menerima penumpang.
“Halah, lama banget sih prona-nya.” Keluh Reyna.
“Kalau kita menunggu angkot kuning, pasti adanya prona. Tapi giliran kita nunggu prona, pasti adanya angkot kuning.” Kata Gea.
“Benar. Kalau saja angkot kuning sampai di Sumowono, pasti kita udah hampir sampai.”
“Iya Reyn, tapi sayang, angkot kuning cuma sampai Pasar Bandungan.”
“Halah.”
“Itu itu.. ada prona!” seru Darena.
“Lihat pronanya kosong! asyik!” ujar Reyna.
“Asyik..asyik.. itu pasti,.. mobil sewaan. Lihat! Pasti sopirnya melambaikan tangan.” Ucap Gea.
Dan benar saja, sopir prona itu melambaikan tangan. Tahu sendiri kan artinya apa? Mobil sewaan.
“Kalau prona-nya kosong terus ngebut, itu pasti mobil sewaan.” Kata Gea.
Tak lama kemudian, ada prona warna hijau tua datang dengan kecepatan yang cukup lambat.
“Lha.. ini baru bukan mobil sewaan.” Kata Gea.
Gea melambaikan tangan, dan prona itu berhenti. Kemudian mereka naik satu-persatu. Darena, Gea, Reyna duduk di belakang sopir. Sedangkan Alena, Ferrysa, dan Michelle duduk di tempat duduk paling belakang.
Setelah sampai di pom bensin, 6 sahabat itu turun dari prona. Darena membayar kepada sang sopir.
“He! Kurang seribu!” seru sopir prona itu.
“Hey, Mich kamu punya uang seribuan nggak?” tanya Reyna pada Michelle.
“Punya, tapi di tas. Bentar aku ambilin dulu.”
“Ya.”
“Ini.” Michelle memberikan uang Rp 1.000,00,- pada Reyna.
“Ini Ren.” Reyna memberikannya pada Darena.
“Udah kok.” Ucap Darena.
“Ya udah, ini Mich. Aku kembali’in.” Kata Reyna pada Michelle.
“Okay.”
Mereka menyeberang ke arah gapura yang bertuliskan “Obyek Wisata Candi Gedong Songo”. Setelah menyeberangi jalan, mereka memulai perjalanan mereka menuju ke Candi Gedong Songo.
“Gedong Songo tiga kilo meter.” Kata Ferrysa sambil melihat sebuah tulisan di papan yang dipasang di tepi jalan dekat gapura.
“Ha? Tiga kilo meter? Khayal kamu itu.” Kata Reyna.
“Aku nggak khayal. Lihat itu!” Ferrysa menunjukkan tulisan di tepi jalan itu pada Reyna.
“Gila.. Tiga kilo meter guys.”
“Yang sabar ya boss...” kata Alena. Reyna hanya tertawa geli.
“Belum lagi jalannya menanjak.” Sambung Michelle.
Setelah berjalan sekitar 1 km, wajah Alena tampak memerah.
“Lihat itu, mukanya Alena memerah!” seru Gea.
“Ih iya.” Jawab Reyna.
“Hey, kalian bawa minum nggak?” tanya Alena.
“Nggak, lha kamu sendiri?” jawab Michelle yang kemudian balik bertanya pada Alena.
“Nggak.”
“Pasti kamu haus ya Len?” tanya Gea.
“Ya nanti beli di warung.” Ucap Reyna.
“Tapi warungnya dimana?”
“Ya nanti, tenang aja!” kata Darena.
Darena dan Reyna berjalan di depan, Ferrysa berjalan di belakang mereka berdua, Michelle dan Gea berjalan di belakang Ferrysa, dan Alena berjalan paling belakang. Saat tiba di depan rumah mewah, tiba-tiba ada anjing yang menggonggong di halaman rumah tersebut. Ferrysa, Gea, Michelle, dan Alena ketakutan. Terpaksa mereka harus berlari balik ke bawah sampai-sampai hampir terjatuh. Sementara itu, Darena dan Reyna berjalan naik dengan santai.
“Hey, itu gerbangnya ditutup kok. Santai aja!” ucap Reyna.
“Aku kira gerbangnya terbuka, jadi terpaksa lari ke bawah.” Ucap Ferrysa.
Ferrysa, Gea, Michelle, dan Alena melanjutkan berjalan naik. Setelah lama berjalan, mereka kelelahan.
“Lelah nih.. berhenti dulu lho! Istirahat dulu!” Seru Alena. Michelle, dan Gea berhenti, akan tetapi, Ferrysa, Reyna, dan Darena tetap melanjutkan berjalan.
“Nginclik bae!” seru Alena pada Darena, Ferrysa, dan Reyna.
“Lha kenapa? Ayo kita harus cepat!” Kata Reyna.
“Hey, kalian kok gitu sih! Ini Alena kecape’an. Lihat! Wajahnya tampak merah. Berhenti dulu loh! Kasihan Alena.” Perintah Gea.
“Bukannya kita itu susah senang bersama ya? Kalau ada yang capek, walau itu hanya satu orang, kita tetap harus bersama.” Kata Michelle.
“Iya. Yaudah ayo berhenti Fer, Ren!” ajak Reyna.
Mereka pun beristirahat untuk sejenak di bawah pohon.
“Lihat itu!” seru Reyna.
“Apa sih Reyn?” tanya Darena.
“Di seberang jalan itu apa sih? Kok kayak jurang ya?”
“Mana?”
“Itu.” Kata Reyna sambil menunjukkan apa yang dimaksudnya.
“Kesana yo!” ajak Reyna.
“Ayo.” Jawab Darena bersemangat.
“Mau kemana sih Reyn?” tanya Michelle penasaran.
“Mau ke seberang jalan. Ikut nggak?”
“Nggak ah.”
“Ya udah.. ayo Darena!” ajak Reyna
Mereka menyeberangi jalan.
“Lihat itu!” perintah Reyna.
“Jurang!” seru Reyna.
“Apaan sih Reyn?” tanya Gea dari seberang jalan.
“Jurang.. eh nggak tahu.. kayak jurang.. curam...”
“Gimana sih..?”
“Jurang apanya? Nggak mungkin jurang lah. Reyna itu aneh-aneh aja..” kata Michelle.
“Ya.. Emang Reyna kok. Mau di gimanain tetap aja lebay!” kata Gea dengan nada santai.
“Lebay!” seru Alena.
“Ya udah ayo jalan!” seru Reyna.
6 Sahabat itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di sebuah warung.
“Itu ada warung.” Ucap Reyna.
“Ayo beli minum!” ajak Alena.
“Ayo.”
“Be,.e,.li.....” Panggil Reyna.
“Iya.” Jawab perempuan pemilik warung tersebut.
“Mbak, harga minumannya berapa?” tanya Reyna.
“Kalau ini dua ribu, kalau ini seribu.” Jawab pemilik warung itu sambil menunjukkan minuman yang dimaksudkan.
“Ya udah mbak, saya beli yang seribu aja. Rasa anggur ya mbak!”
“Saya juga beli yang seribu mbak. Rasa jeruk..!” pinta Alena.
“Saya juga mbak, rasa anggur!” pinta Gea.
“Mich kamu mau beli apa?” tanya Darena pada Michelle.
“Yang seribu aja. Rasa jambu.”
“Kalau kamu Fer?” tanya Darena pada Ferrysa.
“Sama kayak Mich Mich.”
“Kalau begitu, sama juga kayak aku.”
“Saya juga yang seribuan mbak. Tiga, rasa jambu semua!” Pinta Darena kepada sang pemilik warung tersebut.
“Aku sama beli ini ah!” kata Reyna sambil mengambil kerupuk pedas enak warna kuning.
“Aku juga, ambilkan satu!” pinta Michelle pada Reyna.
Setelah membeli dan membayar makanan ringan, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
“Ah... segar menggelegar...” ujar Reyna.
Reyna dan Michelle menawarkan kerupuk kuning pedas yang mereka beli pada empat sahabat mereka.
“Aku minta ya Reyn.” pinta Gea kepada Reyna.
“Silakan...”
“Aku minta ya Mich.” pinta Ferrysa kepada Michelle.
“Eh ini lho kerupuknya pakai pewarna sintetis!” jelas Reyna.
“Emang kok, warnanya mencolok.” Tambah Michelle.
“Sudah tahu masih juga dibeli.” Sindir Alena.
“Yang penting enak, aku aja beli.” Kata Darena.
“Apa enak?”
“Enak.”
“Aku minta!”
“Ya ini, dengan senang hati...”
“Tadi aja nyindir-nyindir, tapi sekarang minta kerupuknya Darena. Gimana sih?” Reyna mencibir.
“Kalau jalan sambil makan pasti nggak terasa lelah.” Kata Michelle.
“Iya. Kamu benar Mich. Berarti tadi kita lelah terus itu karena lapar.” Kata Reyna.
“Eh, kok Reva nggak ikut kita jalan-jalan sih?” tanya Alena penasaran. Tetapi tidak ada jawaban dari kelima sahabatnya.
“Kenapa kalian diam?” tanya Alena.
“Kamu nggak tahu to? Reva kan nggak boleh main ke mana-mana, jarak dekat dari rumah aja nggak boleh. Dia kan anak kesayangan bunda.” Jelas Reyna.
“Masak?”
“Iyaa... udahlah nggak usah ngomongin dia lagi!” pinta Reyna dengan emosi.
“Mendingan kita happy happy aja...” sambung Reyna.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Candi Gedong Songo sambil bercanda. Di pinggir jalan, mereka bertemu dengan 2 orang bapak-bapak kuli bangunan yang sedang bekerja.
“Ini ndhuk tela rebus.” Kata salah satu dari bapak-bapak itu sambil menawarkan ketela rebus yang dibawanya.
“Boten, pak. Maturnuwun.” Jawab Reyna.
“Jalan kaki?”
“Inggih.”
“Jalan kaki dari mana?”
“Dari gapura bawah dekat jalan raya, pak.” Jawab Darena.
6 sekawan melewati gapura Dusun Ngipik, yang di sebelahnya terdapat taman dengan gazebo yang jumlahnya cukup banyak.
“Ih.. gazebonya bagus ya, ala Jawa banget.” Kata Michelle.
“Ih.. he’em kesana yo!” ajak Gea.
“He... apa boleh masuk? Itu kan kepunyaan Dusun Ngipik.” Kata Reyna.
“He.. apa iya itu kepunyaan Dusun Ngipik?” tanya Gea tak percaya.
“Ya nggak tahu sih.. kan bisa aja.. aku juga nggak tahu.. ya sudah ayo kita melanjutkan perjalanan.. sebentar lagi sampai...”
“Ayo....” jawab Gea.
Mereka berhenti di jalan yang menanjak dengan maksud untuk istirahat sejenak dan berfoto bersama. Di jalan itu, ada sepasang suami-istri yang berboncengan menggunakan sepeda motor. Sepeda motor yang mereka tumpangi sedikit demi sedikit mundur ke belakang dan hampir jatuh. Maklum jalannya menanjak, apalagi istrinya gemuk.
“Eh itu mau jatuh, tolongin yuk!” ajak Reyna.
“Ayo..!!” jawab sahabatnya.
Saat mereka hendak membantu mendorong sepeda motor yang ditumpangi oleh sepasang suami-istri itu, istrinya malah turun dari sepeda motor itu.
“Makasih ya.” Kata perempuan berbaju hijau itu pada 6 sekawan.
“Ya..” jawab mereka ragu-ragu.
“Eh padahal kita belum sempat membantu, tapi ibu itu sudah bilang makasih.“ bisik Reyna pada kelima sahabatnya.
“Emang kok..” jawab mereka.
“Wes aku tak mlaku bae bareng cah-cah iki. Sampeyan mlaku dhishik.” Kata sang istri kepada suaminya.
“Gedong Songo masih jauh?” tanya perempuan itu.
“Lumayan.” Jawab Darena yang kemudian memandang ke arah teman-temannya.
6 sekawan berjalan mendahului perempuan tersebut, itu karena perempuan tersebut berjalan terlalu lambat, sedangkan 6 sekawan tidak sabar ingin cepat sampai di Candi Gedong Songo. Mereka tiba di depan rumah mewah dan mereka kagum atas pemandangan yang dapat dilihat dari sana.
“Ih ada kolam renangnya! Andai saja ini rumahku...” Reyna berandai-andai.
“Amiin..” kata mereka kompak.
“Malahan lebih bagus dari rumah ini..” kata Michelle.
“Amiiiiinnn..” kata mereka lebih kompak.
“Ih, lihat itu kolam renangnya. Kok kotor banget ya?” tanya Gea.
“Iya. Udah dari tadi keleus..” jawab Darena.
“Rumputnya kok bisa merambat ke dinding ya?” tanya Gea.
“Padahal itu kan rumput jepang ya?” tanya Ferrysa.
“Iya, maka dari itu aku tanya.”
“Ohh.. ternyata eh ternyata ini rumput plastik!” seru Reyna.
Alena, Darena, Gea, dan Ferrysa penasaran lalu menyentuh rumput sintetis itu.
“Heee..!! jangan dipegang loh! Baca itu! Milik pribadi.” Seru Reyna.
“Eh iya.” Ucap Gea.
Mereka melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan tepatnya di depan rumah salah satu warga, ada sejumlah ibu-ibu yang sedang nge-rumpi di teras rumah.
“Delok’o wong kutha!” kata salah seorang ibu pada anaknya.
Mungkin yang dimaksud “Wong Kutha” adalah Darena dan kawan-kawan.
“Sewot banget sih ibu-ibu itu..” Reyna berbisik pada sahabat-sahabatnya.
“Lha ya... emang kok..” sahut Darena.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya sampai juga mereka di Candi Gedong Songo.
“Gedong songo... i’m coming!” seru Reyna.
“Akhirnya tiba juga kita di Candi Gedong Songo.” Ujar Michelle.
“Alhamdulillah.” Lanjut Gea.
“Eh katanya kalau lewat pintu samping nggak bayar. Ayo lewat pintu samping aja!” ajak Reyna.
“Kata mbak pemilik warung tadi?” tanya Darena.
“Iya.”
“Tapi pintu sampingnya mana?”
“Aku juga nggak tahu. Mungkin itu. Lihat! Tulisannya exit.” Ucap Reyna sambil menunjuk ke arah pintu keluar Wisata Candi Gedong Songo.
“Ih iya. Tapi ya tetap ketahuan to ya..”
“Jangan gitu loh! Kita kan anak baik-baik. Jangan bohong. Bohong itu nggak baik. Lebih baik kita jujur aja!” perintah Michelle.
“Iya loh.. kita jujur aja.” Sambung Gea.
“Tiket masuknya berapa? Kalau satu orang sepuluh ribu, nanti ada yang lewat pintu samping itu ya.” Kata Reyna.
“Terserah kalian deh.” Ucap Gea.
“Eh, lihat tulisan di loket itu! Berarti tiket masuknya hari ini enam ribu. Ayo kita ke loket! Tapi nggak usah ada rencana lewat pintu samping.” Ucap Ferrysa.
Mereka akhirnya membayar tiket masuk di loket.
“Turis lima puluh ribu.” Kata Reyna.
“Apa iya?” tanya Ferrysa tak percaya.
“Iya. Lihat tulisan itu!” Reyna menunjukkan tulisan yang ia maksud.
“Oh iya.”
“Ya udah ayo masuk!”
Mereka berjalan masuk ke area Candi Gedong Songo. Saat mereka berjalan, mereka berpapasan dengan turis asing yang sedang bersama keluarganya.
“It’s wonderful!” seru seorang turis nenek-nenek sambil melihat kuda-kuda yang berjajar.
“Mich... bilang pada turis itu kalau kita lapar dong Mich! Biar dibelikan makanan.” Suruh Reyna.
“Hi? Kok harus aku?”
“Kamu kan bisa bahasa Inggris.” sahut Gea.
“Emang kamu nggak bisa? Kamu kan juga bisa.”
“Tapi kan bahasa Inggrismu bagus.”
“Nggak mau ah.”
“Halah..” keluh Reyna.
Belum lama mereka berjalan, akhirnya sampai juga mereka di kompleks pertama Candi Gedong Songo. Candi Gedong Songo Terdiri dari 5 kompleks. 5 kompleks itu letaknya saling berjauhan, apalagi jalannya naik.
“Huh.... selfie-selfie dulu yo!” ajak Darena.
“Ayo.. Tapi dimana?” tanya Ferrysa.
“Di samping candi aja.”
“Ya ayo.”
“Di depan candi aja. Kan malah bagus.” Kata Michelle.
“He’em.. Tapi masalahnya masih ramai dibuat foto sama pengunjung yang lain.” Kata Reyna.
“Ya udah kita tunggu dulu aja!” suruh Gea.
“Okay.” Jawab kelima sahabatnya serentak.
Mereka menunggu sambil melepaskan rasa lelah mereka. Mereka duduk-duduk di samping candi.
“Udah sepi, ayo foto!” ajak Gea.
“Ayo!” jawab Alena.
Setela berfoto, mereka melanjutkan berjalan ke kompleks ke-2. Jalannya naik, Alena tampak kelelahan.
“Berhenti dulu loh!” suruh Alena. Gea dan Michelle berhenti, mereka beristirahat.
“Hey! Berhenti dulu lo Reyna, Darena, sama Ferrysa!” Perintah Gea.
“Ayo!” ajak Reyna yang menoleh ke belakang.
“Ya berhenti dulu! Malah ayo..”
“Katanya susah senang bersama... kalau ada satu temannya yang kelelahan dan minta untuk beristirahat, ya ditemani. Bukan malah ditinggal. Bayangkan jika kalian ada di posisi Alena!” sambung Michelle.
Akhirnya Darena, Reyna, dan Ferrysa menghentikan langkahnya dan ikut beristirahat. Setelah berhenti untuk sejenak, Reyna, Darena, dan Ferrysa berdiri dari tempat yang didudukinya.
“Kita bertiga jalan dulu ya. Kita jalannya pelan-pelan kok. Nanti kalian nyusul.” Kata Reyna.
“Ya terserah.” Jawab Michelle.
Darena, Ferrysa, dan Reyna melanjutkan perjalanan mereka. Setelah beristirahat, Alena, Gea, dan Michelle berjalan menyusul ketiga temannya yang sudah lebih dulu berjalan.
“Dimana sih tiga anak itu?” tanya Alena.
“Nggak tahu tuh. Tadi katanya jalannya pelan-pelan, nggak tahunya cepet banget.” Jawab Michelle.
“Sampai udah nggak kelihatan.” Sambung Gea.
Di tengah jalan, Alena, Michelle, dan Gea berfoto bersama dengan background pemandangan yang indah. Setelah itu mereka kembali berjalan. Tak lama kemudian mereka sampai di kompleks ke-2. Ternyata ketiga sahabatnya sudah sampai disana.
“Nginclik!” Kata Alena.
Ketiga sahabatnya itu hanya tersenyum. Seperti biasa, mereka berfoto bersama. Disana ada penjual minuman. Karena haus, Alena dan Michelle menggabungkan uang mereka untuk membeli minuman isotonik seharga Rp 6.000,00,- 6 sahabat itu berjalan bersama, dan seperti biasa, Darena, Ferrysa, dan Reyna berjalan di depan. Tak lama kemudian mereka sampai di kompleks ke-3.
“Bagus ya!” seru Reyna.
Apalagi yang bisa mereka lakukan selain berfoto dan menikmati pemandangan. Setelah dari kompleks ke-3 akhirnya mereka melanjutkan berjalan menuju kompleks ke-4. Mereka berhenti di dekat sumber belerang.
“Baunya nggak enak!” seru Michelle yang kemudian menutup hidungnya dengan tangannya.
“Iya.. kayak kentut.” Lanjut Reyna yang kemudian juga menutup hidungnya karena tidak tahan dengan aroma belerang yang menyengat.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan!” ajak Michelle. Tapi teman-temannya menghiraukannya.
“Ayolah!..” Ajak Michelle kembali.
“Ya ayo..” jawab Reyna. Tapi empat temannya masih saja tidak mau beranjak pergi dari tempat mereka berdiri. Hal itu membuat Michelle jengkel.
“Kalian kok tahan banget sih dengan aroma belerang?” tanya Michelle pada keempat temannya.
“Udah nggak pakai masker.. nggak nutup hidung lagi..” tambah Reyna.
Akhirnya mereka berjalan kembali. Di tengah jalan, mereka berbincang-bincang.
“He.. Nanti nggak usah sampai kompleks kelima ya?” ucap Darena.
“Lha memangnya kenapa?” tanya Ferrysa.
“Capek. Jalannya naik. Di atas lagi.. Mana sekarang udah siang lagi.”
“Nggak apa-apa. Kita lanjutin aja sampai kompleks kelima.” Kata Michelle.
“Ih..” keluh Darena.
“Kalau kamu nggak mau, nanggung lo Ren.. mumpung kita punya kesempatan pergi jalan-jalan bersama seperti ini. Nggak setiap hari kita bisa kesini.” Tambah Reyna.
“Lagipula katanya pecinta alam..” lanjut Ferrysa.
“Ya deh.. nggak ada salahnya.” Jawab Darena.
“Ini baru namanya petualangan tanpa rekayasa. Kita benar-benar jalan kaki. My trip....” Gea tidak melanjutkan bicaranya.
“My adventure.” Lanjut Michelle.
Setelah tiba di kompleks ke-4 mereka berfoto dan beristirahat, kemudian mereka melanjutkan berjalan menuju kompleks ke-5. Mereka berhenti di bangku yang ada di bawah pohon sambil berbincang-bincang.
“Reyn, kata Reva kamu waktu itu salah paham sama kita ya?” tanya Michelle pada Reyna.
“Waktu kapan?”
“Waktu di mushola sepulang sekolah itu..”
“Oh waktu di mushola sekolah setelah pulang sekolah di hari Senin itu?”
“Iya.”
“Kalian marah sama aku kan waktu itu?” tanya Reyna pada Michelle dan Ferrysa.
“Enggak.” Elak Ferrysa.
“Kok kalian bilang kalau lagi membutuhkan aja pasti datang, tapi kalau nggak butuh, pasti kayak nggak kenal. Seperti kacang yang lupa akan kulitnya?”
“Kita emang ngomong gitu. Tapi yang kita maksud itu bukan kamu.” Jawab Michelle.
“Lalu siapa?”
“Ya seseorang, tapi tenang aja! Itu bukan kamu...” jawab Ferrysa.
“Oh. Maaf ya aku salah paham sama kalian. Aku kira kalian marah sama aku.”
“Iya. Nggak apa-apa kok Reyn.” Jawab Michelle.
“Eh. Kita udah ngluarin uang berapa?” tanya Gea.
“Sekitar sepuluh ribu sama transport-nya.” Jawab Michelle.
“Ya nanti pulangnya kita beli jajan di warung yang tadi ya!” ajak Reyna.
“Okay.” Jawab sahabat-sahabatnya.
“Bau belerangnya sampai kesini ya...” kata Gea.
“Kan kebawa angin..” jawab Darena.
“Yang penting nggak menyengat kayak tadi.” Ucap Reyna.
“Iya.” Sahut Michelle.
Mereka berfoto, kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah tiba di kompleks ke-5 mereka sangat senang.
“Bagus banget ya!” seru Michelle.
“Perfect!” lanjut Gea.
“Lihatlah kebawah! Indah banget.” Pinta Michelle pada Gea.
“Ih iya. Mau aku foto ah pemandangannya.”
“Itu Rawa Pening, kelihatan.”
“Mana sih Mich?” tanya Gea.
“Itu!” Michelle menunjukkan.
“Ih iya. Luas banget ya Rawa Pening itu.”
“Iya.”
“Ayo foto!” ajak Gea.
“Ayo!” jawab Michelle.
Setelah melihat pemandangan ke dataran yang lebih rendah, mereka berganti melihat pemandangan ke tempat yang lebih tinggi. Berbagai macam pohon tumbuh disana. Tak lelah mata memandang.
“Indah banget!” seru Alena.
Mereka berfoto di depan candi, kemudian di depan pohon pinus. Setelah asyik berfoto mereka duduk-duduk di sisi samping candi sambil menatap pohon-pohon hijau.
“Eh puncak Gunung Ungaran itu mana?” tanya Alena.
“Itu mungkin.” Kata Michelle sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang ada di depannya itu. Pohon-pohonnya terlihat sangat lebat. Ada pohon dengan warna daun hijau muda dan ada juga pohon dengan daun yang berwarna hijau tua. Ada pohon pinus, ada juga yang lainnya.
“Masak?” tanya Reyna tak percaya.
“Ya kan mungkin. Coba kamu lihat ke depan! Apa ada puncak gunung yang lebih tinggi dibandingkan puncak itu dan terlihat dekat?”
“Nggak ada. Cuma itu. Yang lainnya tampak jauh dan berwarna biru.”
“Kalau begitu mungkin saja itu puncak Gunung Ungaran.” Kata Gea.
“Mungkin..” sambung Michelle.
“Bagus ya!” seru Ferrysa.
“Iya.” Jawab Alena.
“Disini kita bisa menghirup udara segar. Terhindar dari polusi dan bisa merasakan kesejukan alam.” Kata Michelle.
“Iya. Oleh karena itu kita puas-puaskan disini. Eh tapi tetap aja di atas, ada polusi udara.” Sahut Gea.
“Iya sih, tapi setidaknya disini tidak seperti di daerah tempat kita tinggal.” Ujar Michelle.
Setelah puas menikmati pemandangan alam, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Jalannya turun.
“Jalan turun, pasti pulangnya lebih cepat daripada berangkatnya.” Kata Reyna.
“Emang kok.” Jawab Ferrysa.
Mereka berjalan turun ke bawah dan Reyna merekam perjalanan mereka.
“Pemandangannya sangat indah!” seru Alena.
“Eh candi yang ke-sembilan itu dimana sih?” tanya Gea penasaran.
“Nggak tahu, nggak bisa dilihat dengan kasat mata. Aku denger-denger sih gitu.. tapi aku juga tidak tahu kebenarannya.” Jawab Ferrysa.
“Eh itu jalan menuju kemana ya?” tanya Gea sambil menunjuk ke arah tangga yang menuju ke dataran yang lebih tinggi.
“Jangan-jangan candi ke-sembilannya ada disana. Ayo kita kesana!” ajak Gea.
“Ayo!” jawab Reyna. Baru beberapa langkah saja 6 sekawan melewati tangga, mereka merasa takut.
“Eh jangan kesana ah!” suruh Michelle.
“Iya ah... serem ah, kalau kita sampai disana terus ada yang hilang gimana?” sambung Gea.
“Ih.. iya..” jawab Reyna.
“Aaaaa..........” mereka berteriak dan berlari dari tangga itu.
“Aku rasa candi ke-sembilan tidak disana. Aku rasa di tempat yang lebih tinggi lagi. Tapi ya nggak tahu juga sih..” Kata Michelle.
“Aku rasa juga tidak. Mungkin diatas sana ada bangunan pendapa atau makam sakral.” Kata Gea.
“Iya mungkin.” Jawab Alena.
“Sepertinya begitu.” Sahut Reyna, Ferrysa, dan Darena.
Mereka berjalan menuju ke pintu keluar. Di dekat pintu keluar ada beberapa warung. Di saat mereka berjalan tercium aroma makanan yang sedap.
“Aku jadi pengen makan nih.. Tapi nggak ada uang.” ungkap Gea.
“Besok-besok lagi kalau kita mau kesini, bawa uang yang banyak.” Kata Reyna.
“Iya.” Jawab Darena.
Mereka pulang dengan berjalan kaki seperti saat berangkat tadi. Bedanya sekarang melewati jalan yang turun, bukan menanjak.
“Ayo kita beli jajan lagi!” ajak Alena.
“Iya. Beli jajannya di warung yang tadi aja.” Jawab Reyna.
“Ya.”
Setelah berjalan cukup lama, warung yang tadi belum juga terlihat.
“Mana sih warung yang tadi?” tanya Alena.
“Itu mungkin yang cat rumahnya warna hijau.” Kata Ferrysa sambil menunjukkan salah satu rumah bercat hijau.
“Iya mungkin.”
Setelah mereka tiba di depan rumah dengan cat warna hijau itu, ternyata tidak ada warungnya.
“Terus dimana dong? Kok jauh banget. Keburu laper, haus lagi..” keluh Alena.
“Warungnya masih cukup jauh. Nanti kalau udah sampai tak kasih tahu.” Kata Reyna.
Setelah berjalan dengan cepat menuruni jalan, akhirnya mereka sampai juga di depan warung yang tadi.
“Lha itu warungnya.” Reyna menunjukkan.
“Oh ya. Ayo beli minum sama jajan!” ajak Alena.
“Ya.” Jawab teman-temannya.
Setelah membeli minum dan makanan ringan, 6 sahabat itu kembali berjalan sambil memakan jajanan yang mereka beli. Reyna membuang bungkus makanan ringannya di tempat istirahat mereka untuk pertama kalinya dalam perjalanan menuju Candi Gedong Songo. Tepatnya di seberang jalan yang Reyna anggap jurang.
“Eh.. Reyna! Kok sampahnya dibuang sembarangan sih?” tegur Ferrysa.
“Nggak apa-apa ah. Lha nggak ada tempat sampah kok.”
“Jadikan kantong tempat sampah sementara!” ujar Michelle.
“Lha aku pakai rok putih, nanti kotor..”
“Ya masukin ke tas dulu kan juga bisa. Kita kan bawa tas, biasanya kalau nggak ada tempat sampah aja kamu masukin sampahmu di tasmu.”
“Oh iya, aku lupa.”
“Ya sudah lah, yang berlalu biarlah berlalu.”
“Iya.”
Saat itu mereka berpapasan dengan seorang remaja laki-laki yang cukup tampan menurut pendapat Reyna. Laki-laki muda itu mengendarai mobil dan menoleh ke arah mereka.
“Wow! Mas masnya ganteng ya?” puji Reyna.
“Emang kok.” Sahut Darena.
“Hii, ganteng? Biasa aja kali..” ujar Alena.
“Ya lebih ganteng Keynand lah!” seru Ferrysa.
“Lha, betul itu!” Michelle membenarkan ucapan Ferrysa.
“Ihh, ya gantengan mas masnya tadi!” elak Reyna.
“Hii membela ogk. Ya ganteng Keynand lah!” seru Gea.
“Kumisan gitu kamu bilang ganteng?”
“Kumisnya kan tipis, nggak tebal kayak bapak-bapak. Lagipula kumisnya itu malah membuat dia makin manis dan imut.”
“Aku kan tanyanya ganteng, bukan masalah manis dan imutnya.”
“Ya suka-suka aku lah Reyn!”
“Yang bikin ganteng itu ya rambutnya. Apalagi kalau berantakan.” Sahut Ferrysa. Semua sahabatnya hanya terdiam.
Mereka berjalan dengan santai. Tak lama berjalan, sandal Gea talinya putus. Akhirnya 6 sahabat itu memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu di bawah pohon.
“Gimana ini sandalku?” tanya Gea.
“Lha kok bisa putus sih talinya?” tanya Alena.
“Nggak tahu ini.”
“Ditali lo..” kata Michelle.
“Ditali pakai apa?”
“Ada tali rafia nggak?” tanya Michelle kembali.
“Nggak ada.”
“Kalau begitu ayo berusaha cari tali rafia!” ajak Alena.
“Lha itu ada tali rafia.” Kata Alena sambil menunjuk sebuah tali rafia yang tergeletak di tanah. Kemudian ia menyuruh Reyna untuk mengambilnya.
“Reyn, ambilkan tali rafia itu!” perintah Alena.
Reyna dengan senang hati mengambilnya, lalu memberikannya pada Alena. Alena meminta sandal milik Gea. Ia mencoba untuk mengikat tali sandal milik Gea dengan rafia itu. Akhirnya tali sandal milik Gea dapat digunakan kembali, walau ada tali rafianya. Setelah berhenti cukup lama, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan untuk pulang. Sampai di pinggir jalan raya, mereka menunggu prona. Lama mereka menunggu, tapi prona tak kunjung datang.
“Prona yang arahnya ke bawah, jalannya pasti pelan. Lihat ya nanti kalau ada prona!” ungkap Gea.
Dan benar saja, datang prona yang mereka tunggu. Prona itu berjalan dengan lambat. Mereka naik satu per-satu kemudian turun di taman kota dan pulang ke rumah masing-masing.
***
Cerita ini terinspirasi dari kisah nyataku dan sahabat-sahabatku... :-)
No copas! Maaf jika ceritanya agak kurang jelas, membingungkan, dan membosankan....
Sebenarnya cerita berjudul "Susah Senang Bersama" ini adalah bagian cerita dengan judul "Susah Senang Bersama Part 2" dari keseluruhan karangan kami yang berjudul 'Love and Friendship'. Love and Friendship sendiri dibuat olehku dan sahabatku 2 tahun lalu, 2015. Tepatnya ketika kami duduk di bangku kelas 8 SMP... :-) Love and Friendship terdiri dari beberapa judul cerita di dalamnya, salah satunya yang sudah kalian baca ini...
Terima kasih sudah berkunjung di sini... Terima kasih karena sudah membaca cerita ini...
Aku harap ceritanya dapat menghibur kalian semua:-)
Terima kasihππγγγγ¨γγγγγΎγγππκ°μ¬ν©λλ€ ππ θ°’θ°’ ππ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar